roses yang akan dialami manusia untuk menunjukkan eksistensinya dimuka bumi ini adalah melalui kelahirannya di dunia fana ini. Saya pernah berpikir kenapa sih setiap bayi yang dilahirkan dari rahim sang ibu itu selalu menangis sesaat setelah dirinya keluar dari mulut vagina, ibunya. Ternyata dari berbagai sumber yang saya baca dapat dijelaskan dengan berbagai macam sudut pandang/ perspektif. Saya pernah ditanya juga oleh seorang kawan dengan pertanyaan diatas, sebenarnya pertanyaan yang dilontarkan itu hanya sekedar guyonan untuk memecahkan masalah. Kira – kira apa jawabnya, saya sempat tertawa terbahak-bahak. Mau tahu jawabnya.
Alkisah ketika sang bayi masih dalam kandungan, dimana suatu tempat yang baginya merupakan sesuatu yang gelap, dia merasa sendirian, tiada kawan, akan tetapi terkadang dirinya merasa terhibur karena ada satu teman setianya yang selalu mengunjunginya , entah seminggu, dua minggu bahkan sebulan sekali. Timbullah pengharapannya bahwa suatu saat nanti bayi ketika masa dikandungan selesai, dan diijinkan menghirup udara segar diluar sana ,pasti yang menyambut pertamakalinya adalah temannya itu.
Namun ia benar-benar kecewa dan sangat terpukul harapanya tidak menjadi kenyataan , karena pertama kali yang ia jumpai adalah sigondrong, maka karena penyesalannya itu , ia menangis sejadi – jadinya. He he he , ini hanya guyonan aja, jangan diambil hati. Bagaimana sih akhirnya , apakah bayi itu ketemu dengan temannya, yach ternyata ditakdirkan ketemu pada saat selesai pernikahannya, namun butuh waktu lama sampe 20 tahunan, ketika ketemu temanya dia merasa kesenangan dan agak sedikit meneskan airmata ( mungkin haru kali ya ).
Apa sebenarnya makna di balik tangisan bayi baru lahir? Rupanya, itulah reaksi yang menandakan responsnya terhadap perbedaan dunia dalam dan luar rahim. Salah satunya per-bedaan suhu dalam kandungan (36-36,5 derajat Celsius) dan suhu ruangan yang biasanya lebih rendah. Selain itu, di dalam kandungan tentu lebih gelap daripada dunia luar. Responsnya yang aktif terhadap lingkungan baru menjadi petunjuk bahwa si bayi dalam kondisi yang baik.
Bukan hanya itu. Tangisan bayi saat dilahirkan bisa dijadikan petunjuk bahwa paru-parunya sudah mampu bekerja dengan baik. Mengapa? Karena menangis mengharuskan udara keluar-masuk melalui paru-paru. Organ penting inilah yang bertugas menghirup oksigen agar kebutuhan semua organ tubuh bisa terpenuhi. Sebelum lahir, kebutuhan janin akan oksigen dipenuhi oleh ibu melalui sirkulasi darah dari plasenta. Nah, setelah lahir ia harus mendapatkan sendiri oksigen melalui pernapasannya.
Pernapasan pertama terjadi akibat adanya rangsangan mekanik kala dada bayi tertekan selama melewati jalan lahir. Perbedaan mencolok antara kehangatan dalam rahim dan suhu luar pun memaksa si bayi bernapas. Yang paling utama tentu saja rangsangan kimiawi ketika tubuh bayi merasakan perlunya pasokan udara bagi proses metabolismenya. Selanjutnya, udara akan segera mengisi kantong-kantong udara di paru-paru yang disebut alveolus.
Jika bayi baru lahir tidak langsung menangis, dokter akan segera curiga bahwa sistem pernapasannya tidak bekerja dengan baik. Ini artinya ada yang tidak normal dengan organ paru-parunya. Boleh jadi karena paru-paru si kecil belum terbentuk sempurna, mengalami kelainan, atau terinfeksi cairan ketuban.
Jika lebih jauh ditilik, terlepas dari perspektif fisiologisnya, sebuah tangisan adalah bahasa tubuh (gesture) yang primitif, untuk mengungkapkan emosi tentang sesuatu yang “sangat tidak disukai”, “sesuatu yang terasa sangat membebani”, atau juga bisa berarti “keharuan”, “ketakutan” atau sebagai ungkapan “penyesalan”. Jika seseorang menangis – dalam konteks andragogis dapat mengantarkan kita pada pemaknaan bahwa orang tersebut sementara bersedih atau tidak merelakan sesuatu hilang/terlepas darinya. Secara historis, dalam kehidupan tradisional, ungkapan emosional banyak diperankan oleh lengkingan atau pekikan suara keras, yang dalam tahapan selanjutnya, secara lebih feminis disertai dengan tetasan air mata. Ungkapan emosional yang mendalam, selanjutnya diwakilkan oleh tangisan plus air mata.
Masih berkaitan dengan di atas, Kenapa bayi yang terlahirkan kedunia menangis? Konon, bayi merupakan makhluk yang (hatinya) masih cukup “suci”, dan karenanya ia mampu secara fitrawi untuk melihat dan menyaksikan fenomena-fenomena alamiah maupun metafisik di sekitarnya. Tangisan bayi, secara tidak langsung, sesungguhnya berhubungan dengan fenomena dunia yang disaksikannya sesaat setelah dirinya keluar dari liang vagina ibunya. Kenapa menangis? Mungkin saja fenomena yang disaksikannya sungguh di luar prakiraan, atau sangat menyedihkan/menakutkan baginya. Sehingga tangisnya dapat saja merupakan ungkapan emosi untuk “menolak” hadir di bumi, dan bermaksud “kembali” ke alam rahim seperti sebelumnya.
Perjalanan waktu seiring dengan bertambahnya usia, dari bayi yang masih merah hingga beranjak dewasa, turut berpengaruh pada kedewasaan kita untuk “menangis”, akibat masuknya kita dalam realitas yang sesungguhnya tidak kita ingini. Karena lebih dewasa, model “tangisan” kita mulai berangsur berubah menjadi lebih hemat suara dan sedikit air mata. Barangkali dalam beberapa kesempatan, air mata kita menetes dalam bulir-bulir kecil, atau kita keluarkan pekik suara tertahan karena sedih/marah atau kecewa atas realitas yang ada. Sebenarnya kita tetap saja menangis, sampai kapan pun, karena memang kita tidak “bermakna” jika hanya dilahirkan pada dunia yang “normal-normal saja”.
Memaknai “tangisan”, sejak kecil hingga besar, boleh menghantar kita untuk bisa lebih mengerti bahwa kita, manusia, sesungguhnya tidak pernah bisa serta merta “menerima” kenyataan tanpa protes atau emosi. Justru sebaliknya, apresiasi kita secara fitrawi selalu hadir untuk memaknai kenyataan. Untuk menormalisasikan apresiasi tersebut, maka tuntunan hidup diberikan kepada setiap ummat di bumi agar perjalanan waktu dan tempatnya, bisa berlangsung hingga ajal menjemput. Tuntunan tersebut yang secara leksikal disebut sebagai “kitab suci” sebagai pedoman hidup (hudan-lil-annas) dan pembeda (al-furqaan). Sederhananya, turunnya kitab suci manusia dalam kehidupannya, antara lain merupakan penuntun atau tata cara “menangis” yang baik dan benar. Karena itu, tangisan menempati proporsi yang tidak kalah pentingnya untuk dihadirkan dalam hidup, tetapi tidak secara berlebihan. Tangisan yang proporsional, sesungguhnya menempatkan jiwa dan hati kita dalam nuansa kedinamisan saat berhadapan dengan realitas yang “paling tidak disukai” sekalipun. Jika masih ada waktu, maka “menangislah” dengan lebih dewasa. Menangis, dapat dianggap “dewasa” jika ia tidak disertai dengan suara isak dan tidak dengan mengucurkan bulir air mata.
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment